GKI Peterongan

Sapaan Dalam Keluarga

Pada hari Minggu pertama sesudah Natal ini, dua kisah masa kecil dari tokoh besar Alkitab diceritakan kembali. Keduanya memiliki narasi dan latar cerita yang berbeda. Kisah Samuel kecil mengambil latar tempat kemah pertemuan di Silo wilayah Samaria, yang kalau kita telusuri ke belakang, kemah pertemuan itu sudah ada sejak zaman Yosua (Yos.18:1). Sedangkan kisah Yesus kecil mengambil latar Bait Allah di Yerusalem. Samuel kecil memang diserahkan kepada Imam Eli untuk menjadi pelayan di Bait Allah. Sementara Yesus kecil, diceritakan tertinggal di Bait Allah tanpa diketahui orang tuanya (Luk. 2:43).

Namun, apa yang menjadi benang merah yang mempertautkan kisah Yesus kecil (dalam Luk. 2:41-52) dan Samuel kecil (dalam 1 Sam. 2:18-20) sehingga keduanya diletakkan berdampingan dalam pengaturan leksionari hari ini? Persamaannya adalah di sini: orang tua mereka sama-sama mencari mereka di rumah TUHAN. Dan ini bukan suatu hal yang kebetulan saja. Ternyata, bagaimana Yesus kecil dan Samuel kecil bisa ada di rumah TUHAN adalah hasil dari kebiasaan orang tua mereka yang juga secara rutin mengunjungi rumah TUHAN. Perhatikan bagaimana Elkana bersama Hana (juga Penina) dari tahun ke tahun pergi ke Silo untuk mempersembahkan korban dan menyembah TUHAN (1 Sam. 1:3). Karena rutinitas inilah, Hana yang ketika itu sudah tidak tahan lagi ditindas oleh Penina, dapat mengadukan pergumulannya itu kepada TUHAN dan bernazar di rumah TUHAN. Dan karena nazarnya itulah, Samuel kecil diam di rumah TUHAN. Tidak jauh berbeda dari orang tua Samuel, orang tua Yesus yaitu Yusuf dan Maria, juga memiliki kebiasaan yang sama. Tercatat jelas di Lukas 2:41 bahwa “tiap-tiap tahun orang tua Yesus pergi ke Yerusalem pada hari raya Paskah.”

Di sini terlihat jelas kehadiran keluarga sebagai suatu kesatuan yang sama-sama saling mendukung, terutama dalam iman kepada TUHAN. Istri dan suami sama-sama bertumbuh dalam iman dan ritual iman bersama. Lalu, apa yang dibiasakan oleh orang tua ini, menjadi sesuatu yang dipelajari juga dilakukan oleh anak. Indah bukan? Tidak bisa kita mengharapkan anak kita atau pasangan kita bisa taat beribadah jika kita sendiri tidak membiasakan diri beribadah. Tidak bisa kita mengharapkan anggota keluarga kita yang lain untuk memiliki kebiasaan baik jika kita sendiri tidak memulainya. (XND)

Pnt. Christnadi Putra Hendarta

-

Arsip