GKI Peterongan

Mengimani Sabda Allah

“Saya yakin sebentar lagi pasti Ponco datang. Dia sudah berjanji mau membantu melatih kita,” kata seorang pemusik pada tim musiknya. 45 menit berlalu dan yang ditunggu belum juga datang. Semua kecewa. Ternyata bukan Ponco yang ingkar janji, melainkan si pemusik yang “salah mengimani” perkataan Ponco. Benar dia berjanji mau membantu, tetapi bukan hari itu, melainkan “minggu depan, kalau ada waktu.”
Masalah serupa sering terjadi ketika kita mengimani sabda Allah. Kita suka memilah dan memilih janji Tuhan di Alkitab yang cocok dengan keinginan. Semisal, janji akan masa depan cerah, mendapat keturunan, jodoh, dan berkat lainnya. Janji-janjiNya kita imani, tetapi syarat atau perintahNya tidak kita imani. Akibatnya janji itu tidak tergenapi. Lalu kita kecewa. Menuduh Tuhan ingkar janji. Padahal kita yang salah memahami janji Allah.
Untuk mengimani sabda Allah, kita perlu menyediakan ruang dan waktu untuk mendengarkan firman Tuhan secara utuh. Seperti Abraham yang menyediakan waktu untuk menyambut Tuhan yang bertamu dalam wujud manusia (Kej 18:1-10). Atau seperti Maria yang menyediakan waktu duduk di kaki Yesus dan mendengarkan Dia (Luk 10:38-42). Betapa sering kita bersikap seperti Marta, yang justru meminta Yesus mendengarkan sungut-sungutnya!
Mengimani sabda Allah bukanlah seperti orang meng-klaim janji dari perusahaan asuransi. Tuhan tidak berutang apapun pada kita. Malah kita yang banyak berutang kepadaNya. Jadi, jangan tempatkan diri kita sebagai  “penagih janji”, melainkan sebagai “pelaku firman.” (JTI)

Para “penagih janji” sering kecewa pada Tuhan
namun para “pelaku firman” selalu puas dalam tiap keadaan

Pdt. Juswantori Ichwan

Arsip